Senin, 19 Februari 2018

PEMIKIRAN PEREMPUAN JULIA KRISTEVA: INTERTEKSTUAL


Julia Kristeva lahir pada tahun 1941 di Bulgaria. Pada tahun 1965 pindah dari Bulgaria ke Paris, kemudian ia masuk ke dalam kehidupan intelektual Paris, mengikuti seminar Roland Barthes dan terlibat dalam dunia pemikiran kesastraan. Selain sebagai tokoh semiotika, Julia Kristeva, juga sebagai tokoh teoretisi feminis. Ia mulai merenungkan sifat feminitas yang dilihatnya sebagai sumber yang tak bernama dan tak terungkapkan. Seperti Derrida, Kristeva menjadikan semiotika struktural Ferdinand de Saussure sebagai objek subversi dan pembongkaran. Julia Kristeva merupakan perempuan produktif yang mengkritik berbagai teori, mulai dari teori semiotika, intertekstualitas, dan feminisme.
Keinginannya untuk melakukan analisis kepada hal yang tidak bisa diungkapkan secara heterogen dan yang bersifat radikal pada kehidupan individu dan kultural, adalah menjadi ciri yang menonjol pada karya-karyanya. Kristeva menjadi seorang teoretisi bahasa dan sastra dengan konsepnya yang khas, yaitu “semanalisis”. Semanalis menitikberatkan materialitas bahasa–suara, irama, dan perwatakan grafiknya–dan bukan hanya pada fungsi komunikatifnya.
Kristeva menyebut bahasa puitik sebagai produk dari signifiance, yang merupakan satu-satunya bahasa yang menghasilkan revolusi. Bahasa puitik melalui kekhususan operasi pertandaannya, dan tidak boleh dikatakan penghancuran identitas makna-makna dan transendensi. Yang dicari dalam proses pertandaan bahasa puitik bukanlah kepaduan dan kemantapan identitas dan makna, melainkan penciptaan krisis-krisis dan proses pengguncangan segala sesuatu yang telah melembaga secara sosial. Dalam bahasa puitis sendiri–seperti yang diungkapkan oleh penyair-penyair–teks mempunyai banyak bentuk makna, tidak hanya berdiri di atas satu bentuk imajiner saja. Sebagaimana struktur yang diturut oleh Julia Kristeva.
Teks mempunyai kemungkinan tidak terbatas untuk menemukan teks aktual. Maksudnya, teks mempunyai historisitas yang kaya kemungkinan yang akhirnya akan ditemukan teks aktual. Sedangkan di dalam makna juga terjadi struktur semacam itu. Karena teks dan makna tidak akan dapat dipisah. Jika terdapat teks, tentu akan diikuti oleh makna. Apabila ada makna, maka ada retrospeksi fenomena untuk menuju sebuah teks. Hal ini berkait dengan konsep intertekstualitas, di mana tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain, setiap teks mengacu kepada teks-teks yang lain.
Pendekatan intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Lalu Julia Kristeva pun mengemukakkan teori intertekstual. Menurut Kristeva, intertekstualitas dapat dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).
Prinsip intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mozaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pascasejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya.


Sumber
Skripsi : Sidik, Fahrul. 2015. Kajian Intertekstual kumpulan Puisi Mata Jendela Karya Sapardi Djoko Damono dan Kumpulan Puisi Aku Ini Binatang Jalang Karya Chairil Anwan. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar