Julia
Kristeva lahir pada tahun 1941 di Bulgaria. Pada tahun 1965 pindah dari
Bulgaria ke Paris, kemudian ia masuk ke dalam kehidupan intelektual Paris, mengikuti
seminar Roland Barthes dan terlibat dalam dunia pemikiran kesastraan. Selain
sebagai tokoh semiotika, Julia Kristeva, juga sebagai tokoh teoretisi feminis.
Ia mulai merenungkan sifat feminitas yang dilihatnya sebagai sumber yang tak
bernama dan tak terungkapkan. Seperti Derrida, Kristeva menjadikan semiotika
struktural Ferdinand de Saussure sebagai objek subversi dan pembongkaran. Julia
Kristeva merupakan perempuan produktif yang mengkritik berbagai teori, mulai
dari teori semiotika, intertekstualitas, dan feminisme.
Keinginannya
untuk melakukan analisis kepada hal yang tidak bisa diungkapkan secara
heterogen dan yang bersifat radikal pada kehidupan individu dan kultural,
adalah menjadi ciri yang menonjol pada karya-karyanya. Kristeva menjadi seorang
teoretisi bahasa dan sastra dengan konsepnya yang khas, yaitu “semanalisis”.
Semanalis menitikberatkan materialitas bahasa–suara, irama, dan perwatakan
grafiknya–dan bukan hanya pada fungsi komunikatifnya.
Kristeva
menyebut bahasa puitik sebagai produk dari signifiance, yang
merupakan satu-satunya bahasa yang menghasilkan revolusi. Bahasa puitik melalui
kekhususan operasi pertandaannya, dan tidak boleh dikatakan penghancuran
identitas makna-makna dan transendensi. Yang dicari dalam proses pertandaan bahasa
puitik bukanlah kepaduan dan kemantapan identitas dan makna, melainkan
penciptaan krisis-krisis dan proses pengguncangan segala sesuatu yang telah
melembaga secara sosial. Dalam bahasa puitis sendiri–seperti yang diungkapkan
oleh penyair-penyair–teks mempunyai banyak bentuk makna, tidak hanya berdiri di
atas satu bentuk imajiner saja. Sebagaimana struktur yang diturut oleh Julia
Kristeva.
Teks
mempunyai kemungkinan tidak terbatas untuk menemukan teks aktual. Maksudnya,
teks mempunyai historisitas yang kaya kemungkinan yang akhirnya akan ditemukan
teks aktual. Sedangkan di dalam makna juga terjadi struktur semacam itu. Karena
teks dan makna tidak akan dapat dipisah. Jika terdapat teks, tentu akan diikuti
oleh makna. Apabila ada makna, maka ada retrospeksi fenomena untuk menuju
sebuah teks. Hal ini berkait dengan konsep intertekstualitas, di mana
tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain, setiap teks mengacu kepada
teks-teks yang lain.
Pendekatan
intertekstual pertama diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang
filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin,
pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra
dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra
lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007:
4-5). Lalu
Julia Kristeva pun mengemukakkan teori intertekstual. Menurut Kristeva,
intertekstualitas dapat dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain.
Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks
merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva
berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan
transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan
mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan
karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu
mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.
Untuk
lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama,
pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan
karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis
rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui
proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada
pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).
Prinsip
intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah
teks. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan
dan mozaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Ia
mengistilahkan semacam ruang ‘pascasejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan
dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan
dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat
eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain,
silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya.
Sumber
Skripsi : Sidik, Fahrul. 2015. Kajian
Intertekstual kumpulan Puisi Mata Jendela Karya Sapardi Djoko Damono dan
Kumpulan Puisi Aku Ini Binatang Jalang Karya Chairil Anwan. Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
https://desianiyudha.wordpress.com/2014/12/13/perempuan-dalam-semiotika-julia-kristeva/.
Diakses pada 24 Mei 2017, 21:29.
http://olien-kribo.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-teori-intertekstual-dan-tokoh.html.
Diakses pada 24 Mei 2017, 21:50.
http://karinssaputra.blogspot.co.id/2013/03/teori-mengurai-makna-kata-melalui.html.
Diakses pada 24 Mei 2017, 22:13..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar