Minggu, 04 September 2016

sebuah cerpen: SAMPAI BERTEMU KEMBALI


Heboh tersebar kabar seorang mahasiswa ditemukan meninggal dunia di kamar kosannya dalam keadaan badan berlumuran darah dan kamar yang sangat berantakan. Diduga ia meninggal sekitar pukul 5 sore dangan motif bunuh diri.
v   
Malam ini seperti biasa aku menyusuri jalan ini, jalan yang dihiasi lampu-lampu antik menyorotkan cahaya berwarna kuning ke merah-merahan dan rumah-rumah tua peninggalan jaman penjajahan yang masih telihat kokoh, pepohonan yang besar juga rindang ikut menghiasi. Orang- orang yang berjalan mulai dari pribumi maupun para wisatawan asing. Becak-becak yang mundar-mandir sejak tadi tak luput membuat suasana jalan bertambah ramai. Mereka yang melewati jalan ini terlihat riang, aku sering meperhatikannya mulai yang menaiki becak yang menunjuk-nunjuk ke sekeliling sambil tertawa dan tersenyum ke arah teman yang ada di sebelahnya, atau segerombolan orang yang berfoto atau selfi dengan teman-temannya di dekat rumah-rumah tua atau lampu-lampu antik ini, biasanya itu para wisatawan. Suasana seperti ini sering mengingatkanku pada adikku yang jauh di sana. Aku merindukannya.
Jalan yang ku susuri ini memang ramai. Tak lama setelah menyusuri jalan ini, di ujung jalan sebelah kanan banyak pedangan angkringan yang menjual makanan enak dan juga murah. Setiap malam angkringan itu selalu ramai. Aku menyusuri jalan ke arah kiri menuju tempat aku beristirahat. Kampusku tidak jauh dari kosanku hanya sekitar 1 km. Aku sekarang tinggal di kota yang dikenal sebagai daerah istimewa. Aku sangat menikmati suasana di sini, tinggal di sini, orang-orangnya ramah-ramah, berjalan kaki setiap malam menikmati suasana yang ramai, suasan ini dulu yang aku impikan. Tapi tak sesuai dengan apa yang aku impikan saat dulu. Sekarang aku hanya akan menikmati impian yang tersisa yang mungkin bisa terwujud.
Alasan aku pindah ke kota ini untuk bernafas lebih lega dari sebelumnya. Di rumahku yang dulu aku sebagai anak pertama yang harus mengerti setiap peristiwa yang ada di rumah. Aku letih dengan semua yang aku alami, aku hanya ingin bernafas lega di kota ini, menikmati setiap langkah kaki setiap jalan yang kususuri, melihat setiap lekukan yang tampak di setiap wajah orang-orang yang bahagia.
v   
awalnya aku hidup dengan keluarga yang utuh dengan seorang ibu, ayah, adik yang aku sayangi, kita hidup seperti keluarga biasa. Aku sering bertengkar dengan adikku, tertawa bersama, lalu bertengkar lagi, itu salah satu cara menunjukkan kasih sayangku kepada adikku. Ibu yang selalu di rumah menuggu ayah pulang lalu memasakkan masakan yang sederhana namun sangat lezat, ayah yang berangkat pagi pulang sore dan pulang membawa senyum yang bahagia lalu mengobrol dan bergurau bersama ibu, aku dan adikku di ruang tamu. Ternyata keadaan ini tidak bertahan lama setelah ibuku sakit. Awalnya ibu sakit ringan lalu tak lama sakitnya semakin parah, penyakitnya menggerogoti  tubuhnya sampai ibu terlihat kurus. sampai suatu ketika ibu di rumah sakit tempat ibu di rawat. Ibu berpesan kepadaku untuk menjaga adikku lalu kemudian tak terdengar lagi desahan suaranya dan denyut jantungnya. Bagiku saat itu seakan dunia berhenti, aku tak menyangka dengan apa yang terjadi di hadapanku seorang yang aku sayangi tak akan menemaniku lagi.
Setalah kejadian itu di rumah hanya ada aku, adik dan ayah. Setelah kepergian ibu, rumah terasa sangat sepi. Pekerjaan rumah terkadang aku dan ayah yang mengerjakan. Memasak dan mengurus pekerjaan rumah. Terkadang jika aku sekolah, ayah yang mengerajakan semua pekerjaan rumah. Keadaan ini membuat aku semakin tersiksa bukan karena aku lelah dengan pekerjaan rumah, tapi melihat ayah yang begitu kuat melawati semua ini setelah 2 tahun kepergian ibu, ayah merawatku, bekerja, sekaligus mengurus pekerjaan rumah. Akhirnya setelah itu ayah meminta ijin kepadaku untuk mencari pengganti ibu di rumah tangga. Awalnya aku tidak ingin ada pengganti ibu di rumah karena bagiku ibu di dalam hidupku hanya ada satu. Namun apa daya aku tidak bisa egois, aku pun merasa kasihan kepada ayah yang terlihat tegar, namun aku tahu di balik itu semua ayah menangis. Akhirnya setelah lama aku berfikir aku mengijinkan ayah untuk menggantikan ibu di rumah. Namun tetap bagiku ibu ku hannya satu.
Ibu tiriku masuk dalam rumah yang ibu, ayah, adik dan aku bangun bersama. Ayah menikah dengan seorang janda dan memiliki dua anak, anak pertamanya berumur 6 tahun, anak yang kedua berumur 4 tahun. Setelah ibu tiriku masuk rumah semakin ramai dengan 3 anggota rumah yang baru. Adikku semakin dekat dengan anak ibu tiriku. sebaliknya aku ingin menjaga jarak antara ibu tiriku tapi aku tidak memperlihatkannya. Setiap pulang sekolah keadaan rumah selalu berantakan, adik tiriku dan adikku selalu bermain di rumah dan mengacak-acak seluruh rumah. Pasti aku yang akan membersihkan semuanya. Lalu kemudian di acak-acak kembali. Begitu pekerjaan aku di rumah.
Setiap adik tiriku atau adikku bertengkar, aku yang selalu disalahkan oleh ibu tiriku. aku tidak bisa menjaga adikku, tidak bisa mengajari adik-adiknya atau sebagainya. Ocehan-ocehan yang keluar dari mulut ibu tiriku tak pernah menyakitiku tak pernah aku menganggapnya, tetapi yang sangat membuatku sedih terkadang ayah selalu diam kepadaku jika itu terjadi. Dengan ayah bersikap seperti ini aku sangat merasa sedih aku merasa di rumah tak ada yang memperhatikanku selalu aku yang di salahkan.
Ayah yang dulu, selalu mengajakku mengobrol dan bercanda sekarang sangat jarang, keadaan ini sangat membuatku tak nyaman. Aku ingin seperti dulu. Aku lelah. Adikku yang sangat dekat denganku . sekarang entah, seperti sedikit menjauh. Adikku lebih dekat dengan adik tirinya. Di rumah aku seperti orang asing, aku semakin tak betah. Maka aku banyak menghabiskan waktuku di luar dibandingkan di rumah.
Suatu ketika ayah sakit, sehingga ayah tidak bekerja lalu ibu yang mengurus ayah dan aku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, adik-adik tiriku dan adik kandungku. Aku sangat berharap ayah segera sembuh, tapi semakin lama, sakit ayah semakin parah. Aku tidak ingin apa yang terjadi pada ibu terjadi juga pada ayah. Meski aku sedikit kecewa kepada ayah yang berubah tapi bagaimana pun aku sangat menyayanginya. Ayah satu-satunya orang tua kandungku. Aku mohon pada mu Tuhan jangan kau ambil ayahku juga, itu yang selalu aku ucap di dalam hati kepada Tuhan.
NamunTuhan berkata lain. Keadaan yang benar-benar tak pernahku sangka dan keadaan di mana benar-benar aku tidak bisa menerimanya dengan akal pikiranku. Ayah yang aku sayangi sekaligus orang tua kandungku satu-satunya pergi menginggalkanku dan adiku. Pergi meninggalkanku tanpa memikirkan akan bagaimana nanti aku dan adikku kelak. Aku benci dengan semua ini!
Setelah ayah pergi, ibu tiriku semakin seakan-akan berhak memerintahku apa saja. Aku sangat membenci ini! aku akhirnya hidup dengan ibu tiriku. sekarang aku juga harus sering memperhatikan adikku. Aku tak ingin adikku yang masih kecil tersiksa batinnya sepertiku. Aku lebih memperhatikannya aku sering bertanya kepada adikku
“dek, kalo ibu marahi kamu, membentak kamu, atau mukul kamu bilang sama kakak yah” sambil memeluk dan mengelus-elus rambutnya yang terurai panjang. Terkadang aku masih tak menyangka ini semua terjadi dalam hidupku. Melihat sorot mata adikku air mataku tak bisa tertahan keluar begitu saja. Aku sangat merasa kasihan pada adikku yang masih belum mengerti keadaan ini. ditinggal oleh kedua orang tua kandungnya. Aku selalu memikirkan bagaimana nanti setelah adiku besar. Apakah dia bisa melewati ini? dan apakah aku juga bisa bertahan dengan semua ini? sebisa mungkin aku memberikan kasih sayang dan perhatianku kepadanya.
Kehidupanku berjalan seperti ini, hidup mengurus semua kebutuhan ibu, adik tiriku, dan terutama adik kandungku tersayang. Terkadang terlintas di pikirannku aku ingin pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin di sini. Aku ingin kehidupan yang dulu. Aku ingin diperhatikan, diberi kasih sayang seperti orang lain, aku ingin seperti mereka memiliki keluarga yang utuh, terkadang aku benci dengan keadaan ini. Entahlah aku hanya ingin seperti mereka, saling memberikan kasih sayang bukan hanya memberi tapi juga menerima.
Setelah satu tahun kepergian ayah, ibu tiriku kini akan menikah lagi. Aku akan mempunyai ayah tiri. Keadaan ini semakin rumit bagiku. Aku hidup dengan ibu tiri dan kini bertambah lagi ayah tiri. Entah bagaimana kehidupanku nanti. Sebelumnya ibu tidak berbicara kepadaku mengenai ayah tiri. Tapi kemudian ibu membawanya ke rumah. Saat aku sedang di ruang tamu menonton televisi dengan adik tiriku dan adik kandungku
“kamu beresin semuanya mau ada tamu, udah bawa adik-adikmu jangan main di sini. Beresin semuanya!” dia memerintahku untuk membereskan mainan yang berserakan ulah adik-adikku.
“memang siapa yang akan datang?” aku segera membereskan sambil bertanya
“nanti juga tahu” menjawab lalu keluar
            Tak lama setelah itu, ibu tiriku masuk membawa seorang lelaki yangg terlihat lebih tua dari ayah. Aku masih bertanya-tanya siapa dia.
            Setelah mereka mengobrol  akhirnya tamu itu pergi. Lalu aku bertanya kembali siapa dia. Lalu ibu menjawab bahwa itu adalah calon ayah tiriku. seketika itu aku lansung lemas. Aku langsung ke kamar aku ingin menangis, aku masih belum bisa menerima ini, setelah kepergian ibu, ayah, datang ibu tiri lalu ayah tiri bagaimana aku menjalaninya? Aku takut aku tidak bisa menjalaninya. Rasanya setelah mendengar bahwa yang tadi datang adalah ayah tiri, aku sangat ingin keluar dari rumah ini. Aku benci, aku cape, aku tidak bisa menahannya sendiri.
            Aku ingin keluar, tapi bagaimana? aku tak bisa meninggalkan adikku. Akhirnya aku menjalaninya, setelah ayah tiriku datang di rumah ini aku semakin tidak di anggap. Tapi adikku seperti baik-baik saja, seperti biasa bermain bersama adik-adik tiriku. ibu tirku memang tidak pernah memarahi atau memukul adikku namun aku yang selalu dimarahi dan disalahkan jika terjadi sesuatu di rumah ini meski itu kesalah adik-adikku. Justru ini aku sangat ingin keluar dari rumah ini.
            Suatu ketika aku mencoba mendaftar kuliah di luar kota. Karena aku sekarang duduk di SMA kelas 3 dan aku mencobanya. Awalnya aku ditentang oleh ibu dan ayah tiriku, kata mereka aku akan menghabiskan uang banyak jadi aku tidak dibolehkan. Namun aku mencoba kesana kemari bagaimanapun aku harus kuliah, hanya dengan cara ini aku bisa keluar dari rumah ini, aku ingin bebas. Setelah aku berusaha mencari beasiswa kesan kemari di internet dan di sekolah. Aku mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus di unvesitas negeri  karena nilaiku mendukung akhirnya aku mendapatkannya.
            Aku memberitahu kepada ibu dan ayah tiriku bahwa aku mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah jadi mereka tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untukku nanti. Namun mereka tetap bersikeras, menurut mereka jika aku kuliah maka rumah ini tidak ada yang mengurus. Tapi aku mecoba terus membujuknya dan terus membujuknya.  Akhirnya aku di perbolehkan.
            Sebenarnya aku khawatir dengan adikku, aku takut adikku sepertiku jika ditinggal, tapi aku tidak mungkin membawanya. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkannnya. Sebelum pergi aku berpamintan padanya, aku memeluknya, menciumnya. Tak terasa air mataku keuar aku tak bisa menahannya.
            “Dek, baik-baik yah kakak mau sekolah dulu, adek jangan nakal, rajin sekolahnya, belajar yang rajin, jangan males nanti di marahin ibu sama ayah loh” sambil memeluknya aku berpesan kepadanya lalu aku menciumnya melihat sorot matanya yang masih teramat polos.
            “Kakak ke sekolah bawa tasnya banyak banget? Kakak ga lamakan?” adikku bertanya melihatku dengan tatapan matanya yang polos.
            “tunggu kakak ya dek, kakak ga lama ko” air mataku akhirnya bertambah banyak dan  isak tangisku terdengar sampai adikku bertanya.
            “kakak ko nangis? Kakak mau ninggalin ade yah kayak ibu sama ayah? Ade ga mau di tinggalin kaaaak” adikku ikut menangis. Aku tak menyangka ternyata dia tahu bahwa dia telah ditinggalkan ibu, ayah dan sekarang oleh ku. Aku memeluknya erat-erat, dan terakhir aku mencium keningnya. Aku melepaskan pelukanku dan berbalik berjalan tanpa menoleh aku takut jika aku menoleh kebelakang aku akan berubah pikiran.  Yang terdengar hanya tangisan adikku yang berteriak kakak ikut.. kakak ikut... ade pengen ikut..
            Tunggu kakak yah dek, kakak tidak akan lama. Kakak akan balik lagi ngambil kamu dari mereka, terus nanti kita hidup berdua tanpa mereka. Kita akan hidup bahagia. Setelah kakak pulang nanti kakak akan membelikan apa saja yang kamu inginkan, membahagiakan kamu, membesarkanmu dengan kasih sayang. Bertahan ya dek, kakak akan kembali. Tangisku tak tertahan aku sangat sedih aku tidak bisa memikirkan bagaimana adikku akan diperlakukan oleh mereka. Tapi bagaimanapun hanya  ini caranya supaya aku bisa keluar dan kembali dengan kehidupan yang lebih baik.
v   
            Di sini di kota ini aku merajut mimpi-mimpiku, kebahagianku kelak nanti bersama adikku. Aku akan bersungguh-sungguh. Kelak setelah lulus aku akan bekerja dan membahagiakan adikku. Setiap kuliah aku berjalan kaki, tempat aku tinggal di kota ini tidak jauh dari kampus, jadi aku sering berjalan kaki. Setiap pulang kuliah aku menyusuri jalan ini jika malam hari jalan ini sangat ramai dan menyenangkan. Aku selalu ingat dengan adikku. Kelak nanti aku akan mengajaknya pasti dia akan senang.
 Setelah satu tahun aku menjalani kehidupan dan berkuliah di kota ini. Aku merasa lebih lega, meski aku masih merasa bersalah terhadap adikku dan aku menghatirkan keadaan adikku di sana. Aku sering bertanya-tanya keadaannya. Sore ini aku masih ada kelas sampai pukul 6, saat perkuliahan berlangsung telepon genggamku berdering kulihat nama yang tertera di teleponku “ibu tiri” aku terheran-heran ada apa ibu tiriku menelpon padahal dia tidak penah menelponku. Akhirnya aku meminta ijin kepada dosen untuk mengangkat telepon dan diperbolehkan.
“halo assalamualaikum” aku mengangkatnya dengan terheran-heran
“halo, Ani kamu pulang sekarang” dia menjawab dengan suara bergetar
“pulang? Aku masih kuliah, memang ada apa?” aku masih bertanya-tanya
“adik muu..” suaranya terputus-putus. Adikku? Ada apa kenapa dia
 “adik mu... adikmu ni, maafkan ibu” suaranya terdengar bergetar
“iya kenapa fina?” aku semakin kesal
“adikmu... me.. ninggal”
Seketika aku lemas. Teleponku terjatuh dari tanganku. Apa yang terjadi? Tidak mungkin? Tuhan tidak mungkin mengambil adikku juga. Tidak mungkin. Setelah mendapat telepon dari ibu tiriku aku langsung berlari ke kosan aku mencari uang untuk pulang, aku ingin pulang. Ibu pasti berbohong. Aku akan memastikan bahwa adikku masih hidup. Air mataku keluar aku tak bisa menahannya. Badanku bergetar, aku lemas dan terduduk di ujung dekat lemari. Yang ku temukan hanya selembar uang 10rb tidak cukup untuk pulang. Bagai manaini?
“aku ingin pulang... dia pasti berbohong, dia hanya ingin aku pulang, ini tidak mungkin terjadi..” aku masih mencoba mencari uang untuk pulang di bawah kasur
“tidak mungkin... tidak.. adikku tidak meninggal.. “
“dia masih menungguku, tidak mungkin, dia menungguku lulus, kerja, terus kita hidup bersama”
“de.. kamu masih hidupkan.. kamu tidak meninggal?”
“kan kakak sudah bilang tunggu kakak, nanti kakak beliin apa yang kamu mau, kenapaaa?”
Tuhan kenapa kau juga mengambil adikku? Kenapa? Tidak cukupkah kau mengambil ibu, ayah? Kemudian adikku, kenapa adikku. Alasanku di sini kau tahukan? Kenapa... lalu aku harus bagaimana. Aku bingung aku harus kemana, aku tidak memiliki tujuan. Aku benci keadaan ini, aku tidak bisa lagi menerimanya.
Ibu, ayah, adik kita dipetemukan lalu dipisahkan. Aku yakin dengan cara ini aku akan dipertemukan kembali dengan kalian. Karena aku yakin disetiap perpisahan akan ada pertemuan kembali. Aku sangat menyayangi dan merindukan kalian.

v   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar